Saturday, February 23, 2019
Jawa pos radar solo |
Proliga 2019 menjadi debut seorang Shindy Sasgia Dwi Yuniar Liswanti sebagai atlet bola voli profesional. Perempuan 21 tahun ini bergabung dengan tim putri Jakarta Elektrik PLN. Dia menjadi satu-satunya atlet voli perempuan asli Solo yang berlaga di liga voli tertinggi di Indonesia itu.
Memiliki tinggi badan 182 centimeter, Shindy, begitu dia akrab disapa, mengaku hasil yang diraih saat ini adalah kristalisasi dari ketekunan yang dijalani di dunia voli. Sebelum direkrut klub voli nasional anak bungsu dari dua bersaudara ini mengenyam beberapa tim profesional dan amatir.
“Dipanggil PLN sebenarnya sejak musim 2018, tapi saya harus menyelesaikan kontrak dengan tim sebelumnya. Pada 2017 saya ikut klub Batam, 2016 di Bekasi,” kata Shindy kepada Jawa Pos Radar Solo saat ditemui di kampusnya belum lama ini.
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta ini mengaku sebenarnya dia tidak memiliki cita-cita sebagai atlet voli. Selayaknya anak kecil, dia memiliki cita-cita yang dianggap menyenangkan untuk dijalani. Salah satu yang sempat diinginkannya adalah menjadi model. Keinginan itu didukung dengan postur tubuh yang tinggi dan wajah cantik. “Sejak SMP saya sudah kelihatan tinggi,” ucap penyuka nasi goreng ini.
Berawal dari tawaran menjadi model sebuah produk baju batik di Kota Solo, Shindy mulai mencoba peruntungan. Tawaran pertama saat kelas 2 SMP itu diterima dan sukses. Kemudian menjadi candu, setiap gelaran peragaan busana terus diikuti. Tetap rajin berjalan di catwalk, dia diminta sang ayah untuk bergabung di klub voli. Keinginan yang sebenarnya malas untuk dikerjakan, namun dia tak bisa menolaknya. Apalagi harus memulai aktivitas olahraga yang sama sekali belum pernah dilakukan.
"Saya memang hobi olahraga, tapi badminton waktu SD. Ini dipaksa Papa buat ikut voli. Mungkin karena lihat badan saya tinggi. Saya sampai menangis pas pegang bola voli pertama kali,” kisahnya.
Dia masih ingat saat mengikuti latihan kali pertama di SD Cemara Dua dari pukul 16.00 hingga 18.00. Waktu dua jam itu dia habiskan dengan penuh rasa malas. Sepanjang latihan dia terus menangis dan berharap latihan segera selesai. Kesedihan itu tetap berlangsung beberapa hari. Namun sang ayah kembali memaksa untuk mengikuti latihan di hari berikutnya. Hingga akhirnya Shindy pasrah dan harus menikmati kebersamaan dengan tim volinya. “Sampai SMA kelas 1 masih ikut latihan dan mulai diikutkan kejuaraan,” ujarnya.
Bersama tim Popda Kabupaten Boyolali, Shindy memulai kompetisi dengan kekalahan. Mepetnya waktu pembentukan tim menjadi penyebabnya. Namun dari event itu dia mendapatkan keberuntungan. Dinilai bermain apik secara individu, PPLP Daerah Salatiga memanggilnya untuk mengikuti training center. Sebuah program yang menuntutnya untuk berpindah sekolah ke kota orang.
“Saya tidak pernah jauh dari orang tua. Saat itu saya harus pisah. Pada saat itulah saya ingin melakukan hal yang terbaik. Masak sudah jauh-jauh tapi sama saja,” katanya.
Mulai dari titik itulah seorang yang menangis saat memegang bola voli untuk kali pertama kini menjadi open spiker andalan nasional. Namanya pernah tercatat sebagai pemain timnas voli putri Indonesia yang berlaga di Vietnam pada 2016. Menghadapi negara se Asia, Shindy dan kawan-kawan berhasil merebut medali perunggu. Sebuah moment yang paling membahagiakan dalam sejarah karirnya.
Kini ia percaya bahwa perjuangan yang dilakukan selama ini dilakukan membuahkan hasil yang setimpal. Bahkan beberapa keajaiban dapat terjadi sekaligus. Sejak Maret 2018, Shindy kembali menggeluti dunia model di sela-sela bermain voli. Dengan modal tinggi, cantik namun tetap berkulit putih menjadikan dia makin anggun di atas cat walk. (Jawa pos)